Monday, September 02, 2013

KEMBALIKAN HUTAN KEMENYAN KAMI




“Kalau PT Toba Pulp Lestari menebang kayu alam, perasaan kami seperti menebang leherku inilah, karena daun kayu itu adalah rambutku itulah perasaan ku. Kalau hancur tanah Hutan Kemenyan itu seperti yang menghancurkan dagingku itulah yang kami rasa. Air yang tidak bisa kami pakai krn terkena limbah seperti darah yang dikotori TPL. Gimanalah kalau manusia hidup kalau dia tidak punya kepala, tidak punya daging, tidak punya darah”
 
 
Ibu Rusmedia Lumbanggaol wanita 57 tahun yang memiliki 12 orang anak menyampaikan keluh kesah kepada Dirjen Bina Usaha Kehutanan (BUK) Kementerian Kehutanan; Ir. Bambang Hendroyono, MM
pada pertemuan mediasi antara masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL).
 
Kemenyan bagi banyak orang merupakan simbol mistis yang digunakan untuk suatu upacara spiritual. Namun bagi masyarakat Pandumaan Sipituhuta merupakan kepala, daging dan darah mereka dalam melanjutkan keberlangsungan anak cucu mereka.
 
Kaum pria Pandumaan dan Sipituhuta berangkat bekerja setiap hari senin ke hutan kemenyan untuk mengolah pohon kemenyan. Proses untuk mendapatkan kemenyan tidak semudah dari yang kita bayangkan.  Penyadapan kemenyan tidak perlu wadah, getah di biarkan keluar dari batang pohon, meleleh di kulit pohon. Pada cukilan pertama, batang pohon akan menghasilkan getah berwarna putih yang baru bisa di ambil sekitar tiga bulan kemudian. Getah itu menempel di kulit pohon, sehingga untuk memanen petani harus mencongkel kulit batang kemenyan. Getah putih di sebut sidukabi atau mata zam - zam ini bernilai paling tinggi. Bekas cukilan itu akan menghasilkan tetesan getah kedua yang di sebut jalur atau jurur, yang bisa di panen dua tiga bulan setelah memanen mata zam - zam. Setelah itu muncul getah ketiga yang disebut tahir, harganya jauh lebih murah dari pada harga mata. Jika mata berwarna putih, warna tahir atau jujur semakin menghitam. Begitulah para kaum pria dari dua desa ini bekerja tinggal dihutan sampai dengan hari jumat malam dan kembali ke desa hari sabtu dan minggu untuk kemudian menjual kemenyan yang mereka dapat kepada penadah. Pohon kemenyan bukan pohon monogami, pohon kemenyan tidak dapat hidup dan menghasilkan tanpa pohon alami dari hutan. Pohon akan mati dan kering jika pohon lain ditebang.
 
Getah harum yang bernama kemenyan, yang dalam bahasa Batak di sebut hamijon merupakan sumber ekonomi bagi masyarakat Pandumaan Sipituhuta. Kemenyan yang menyejahterakan masyarakat Tapanuli dan getah harum itu ikut pula membesarkan namanya. 
 
seorang Ibu Rusmedia Lumbanggaol berjuang bersama 9 orang perwakilan masyarakat Pandumaan Sipituhuta ke Jakarta mengandalkan saweran Rp.10.000/Kepala Keluarga dari 700 KK Pandumaan Sipituhuta untuk membiayai tiket pesawat demi menyampaikan keluh kesahnya kepada    Dirjen Bina Usaha Kehutanan (BUK) Kementerian Kehutanan; Ir. Bambang Hendroyono, MM pada pertemuan mediasi antara masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL).
 
Sejak tahun 2009, masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta telah terlibat konflik dengan PT Toba Pulp Lestari karena perusahaan tersebut menebang pohon alam termasuk pohon kemenyan di hutan adat Pandumaan Siputuhata.  Kemudian PT Toba Pulp Lestari juga menanam pohon kayu putih di kawasan yang hutannya sudah dibabat.
 
Ibu yang memiliki 12 anak tersebut mengatakan Tombak/Hutan Kemenyan Pandumaan Sipituhuta sudah kami miliki dan dikelola secara adat dan turun menurun dari nenek moyang kami.  “Keinginan kami bukan untuk kekayaan demi memperjuangkan perutnya kami dan sekolah anak agar mereka tidak dikirim pulang dari sekolah hanya karena tidak bayar sekolah”. 
 
Lanjut si Ibu bercerita, Keinginan kami hanya jangan TPL menebang kemenyan kami. Sumber kehidupan kami dari kemenyan adapun ladang juga rusak karena sungai yang ada yang jadi sumber air terdapat limbah yang dikirim dari porsea ke sungai kami. Kalau kami minum kurap semua kaki kami. 
 
“Harapan kami memperjuangkan tanah adat hanya untuk melanjutkan hidup, hidup sederhana saja  bukan hidup bermewah – mewah. Dan perjuangan kami ini untuk hari depan agar tidak hilang tanah kami itu. Kami tidak ingin jadi budak nantinya kalau hak tanah adat kami diambil. Lebih baik kami makan rumput  asal jangan jadi budak TPL.  Dulu saya terus menangis melihat nasib kami, tapi saya semangat sekarang memperjuangkan tanah / hutan adat kami. Kami tidak mau untung atau uang dari TPL, kami mau mengusahakan sendiri tanah kami, dari keringat kami” ujar si Ibu